Legetang Dukuh Yang Hilang Diazab Oleh Allah
Dataran Tinggi Dieng
memang menyimpan segudang cerita yang mungkin belum diketahui masyarakat
luas. Salah satu cerita itu berasal dari sebuah dukuh atau dusun yang
bernama Legetang.
Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi kehidupan dukuh itu.
Toyib (71) warga Desa Kepakisan tetangga Desa Pekasiran, mengatakan, ‘’dulu itu di sini dukuhnya memang makmur, subur, malah desanya nggak makmur tapi salah satu dukuhnya malah makmur.’’
‘’Suara ‘guntur ’-nya (sebutan longsor di daerah setempat) itu sampai terdengar ke rumah saya. Padahal, rumah saya Desa Kepakisan,’’ kisah Toyib yang saat peristiwa itu berusia 11 tahun.
Baru esok paginya diketahui, ternyata suara itu berasal dari longsoran lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun yang tepat menimpa Dukuh Legetang. Dari kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah ‘rompal’ (Jw. Terbelah).
Menyadari peristiwa itu, sontak masyarakat di sekitar Dukuh Legetang terkejut. Kemudian banyak yang berteriak ‘Legetang guntur !’, situasi saat itu menjadi ramai dan membuat masyarakat berbondong-bondong untuk melihat lokasi kejadian.
Sudah Diperingati
Menurut Toyib, sebenarnya tanda-tanda tanah longsor sudah mulai terlihat sejak 70 hari sebelum kejadian. Sebelum bencana itu terjadi, sudah terlihat keretakan di lereng Gunung Pengamun-amun.
Setelah peristiwa itu, banyak masyarakat yang menguhubungkannya dengan sikap warga Dukuh Legetang yang jauh dari kehidupan beragama. Toyib menuturkan, memang dulu pengetahuan agama di Dukuh Legetang masih sangat kurang.
Dari 351 korban jiwa, terdapat 19 orang yang berasal dari luar Dukuh Legetang. Sementara itu, masih ada dua orang warga asli Legetang yang selamat dari bencana tersebut.
Fadullah, Kepala Desa Pekasiran mengisahkan, beberapa hari setelah kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu peringatan yang digunakan sebagai bukti besarnya bencana pada tahun 1955 tersebut.
Kata dia, di tugu peringatan itu sebenarnya ada tulisan berapa jumlah korban dan tanggal terjadinya peristiwa. Namun, sudah sekitar 5 tahun lalu tulisan yang terbuat dari lempeng besi itu hilang. ‘’Itu nggak tau dicuri atau memang copot sendiri,’’ kata Fadullah.
Comment with your Facebook
Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi kehidupan dukuh itu.
Toyib (71) warga Desa Kepakisan tetangga Desa Pekasiran, mengatakan, ‘’dulu itu di sini dukuhnya memang makmur, subur, malah desanya nggak makmur tapi salah satu dukuhnya malah makmur.’’
Namun, pada 17 April 1955, situasi
berubah drastis setelah guyuran hujan lebat yang terjadi selama
berhari-hari. Sekitar pukul 23.00 WIB, muncul suara ‘buumm’ yang terdengar hingga ke desa-desa tetangga, tetapi tidak diketahui dari mana asalnya.
‘’Suara ‘guntur ’-nya (sebutan longsor di daerah setempat) itu sampai terdengar ke rumah saya. Padahal, rumah saya Desa Kepakisan,’’ kisah Toyib yang saat peristiwa itu berusia 11 tahun.
Lanjut Toyib, akan tetapi karena
gelapnya malam dan hawa dingin menusuk tulang, membuat warga yang
mendengar suara mengejutkan itu tidak berani keluar rumah untuk
memeriksanya.
Baru esok paginya diketahui, ternyata suara itu berasal dari longsoran lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun yang tepat menimpa Dukuh Legetang. Dari kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah ‘rompal’ (Jw. Terbelah).
Bukan saja tertimpa tapi juga berubah
menjadi sebuah bukit yang mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh
Legetang yang tadinya berupa lembah, kini berubah menjadi gundukan
tanah menyerupai bukit.
Menyadari peristiwa itu, sontak masyarakat di sekitar Dukuh Legetang terkejut. Kemudian banyak yang berteriak ‘Legetang guntur !’, situasi saat itu menjadi ramai dan membuat masyarakat berbondong-bondong untuk melihat lokasi kejadian.
Sudah Diperingati
Menurut Toyib, sebenarnya tanda-tanda tanah longsor sudah mulai terlihat sejak 70 hari sebelum kejadian. Sebelum bencana itu terjadi, sudah terlihat keretakan di lereng Gunung Pengamun-amun.
Namun, peringatan dini yang diberikan
kepada warga Dukuh Legetang tidak diindahkan. “Mereka suruh mengungsi
tapi tidak mau, karena diperkirakan cuma longsor kecil. Tapi karena
tinggi dan berat tanah yang longsor, langsung menimpa semua. Anehnya
yang longsor cuma atasnya, bawahnya ‘nggak’ ikut longsor,” ungkap Toyib.
Setelah peristiwa itu, banyak masyarakat yang menguhubungkannya dengan sikap warga Dukuh Legetang yang jauh dari kehidupan beragama. Toyib menuturkan, memang dulu pengetahuan agama di Dukuh Legetang masih sangat kurang.
‘’Walaupun dusun yang lain juga hampir
sama, tapi Dukuh Legetang sudah terlalu parah, terutama maksiat-maksiat
masalah seks bebas,’’ kata Toyib.
Dari 351 korban jiwa, terdapat 19 orang yang berasal dari luar Dukuh Legetang. Sementara itu, masih ada dua orang warga asli Legetang yang selamat dari bencana tersebut.
‘’Yang hidup cuma disisakan dua sama
Allah, itu perempuan semua. Mungkin disisakan dua biar untuk sejarah
keadaan desa sini, tapi sekarang sudah meninggal,’’ imbuhnya.
Fadullah, Kepala Desa Pekasiran mengisahkan, beberapa hari setelah kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu peringatan yang digunakan sebagai bukti besarnya bencana pada tahun 1955 tersebut.
Kata dia, di tugu peringatan itu sebenarnya ada tulisan berapa jumlah korban dan tanggal terjadinya peristiwa. Namun, sudah sekitar 5 tahun lalu tulisan yang terbuat dari lempeng besi itu hilang. ‘’Itu nggak tau dicuri atau memang copot sendiri,’’ kata Fadullah.
Comment with your Facebook
Post a Comment